KONSERVASI ARSITEKTUR - KAWASAN MENTENG, JAKARTA PUSAT
Menteng merupakan kota taman tropis pertama di
Indonesia yang terletak di Jakarta Pusat dan awalnya dirancang arsitek Belanda,
yang merupakan perumahan villa pertama di kota Jakarta (dulu Batavia),
yang dikembangkan antara tahun 1910 dan 1918.
Perancangnya adalah,
- P.A.J. Mooijen dan FJ Kubatz (1913)
- Adolf Heuken dan Grace Pamungkas (2001)
Rancangan awalnya memiliki kemiripan dengan model
kota taman dari Ebenezer Howard, seorang arsitektur pembaharu asal Inggris.
Bedanya, Menteng tidak dimaksudkan berdiri sendiri namun terintegrasi dengan suburban
lainnya. Rancangan Mooijen dimodifikasi oleh F.J. Kubatz dengan mengubah tata
jalan dan penambahan taman-taman hingga mencapai bentuk yang tetap antara
1920an dan 1930an.
Kawasan Menteng dirancang dengan tata bangunan
khusus dan untuk pertama kalinya. Karena perencanaannya yang khas, pada masa
itu kawasan ini dijuluki sebagai sebuah kota taman dengan vila-vila Belanda di
daerah tropis. Langgam bangunannya menganut gaya arsitektur “Indis” atau
“Indo-Eropa."
Karakteristik arsitektur yang menyolok secara fisik
dan sangat visual adalah bentuk atapnya dan ketinggian bangunan. Selain itu,
karakteristik lainnya yang juga menyolok, yakni dari segi pandangan tampak
bangunan, seperti teras dan teritis, tekstur, pewarnaan dinding, sampai
dekorasi, dan detail bangunan. Sebagai
pelengkap dari lingkungan perumahan, di kawasan Menteng juga didirikan bangunan
utilitas antara lain, Gedung NV de Bouwploeg (sekarang Mesjid Cut Mutia), Gedung
Bataviasche Kunstkring (sekarang kantor Imigrasi), dan Gedung Nassaukerk
(sekarang Gereja St Paulus dan Gereja Theresia).
Proyek Menteng dinamakan Nieuw Gondangdia
dan menempati lahan seluas 73 ha. Pada tahun 1890 kawasan ini dimiliki oleh
3.562 pemilik tanah. Batas selatannya adalah Banjir Kanal Barat yang selesai
dibangun 1919.
Menteng merupakan tempat domisili banyak pejabat
tinggi negara serta kedutaan besar negara-negara sahabat. Jalan Thamrin, yang
merupakan jantung kota Jakarta, terletak di bagian barat Kecamatan Menteng. Di
Kecamatan Menteng terdapat beberapa stasiun kereta api seperti Stasiun
Gondangdia, Stasiun Sudirman, dan Stasiun Cikini. Batas wilayah Kecamatan
Menteng :
-
Sebelah Utara :
Kec. Gambir
-
Sebelah Selatan :
Kec. Setiabudi
-
Sebelah Timur :
Kec. Matraman
-
Sebelah Barat :
Kec. Tanah Abang
Kawasan ini merupakan perluasan kota di sebelah
selatan dari wilayah pusat kota, yakni Weltervreden (Wilayah sekitar Gambir dan
Pejambon sekarang). Oleh Pemerintah Kolonial Belanda, perumahan Menteng
ditujukan bagi orang-orang Eropa dan orang pribumi dengan status sosial
menengah ke atas.
Sebagai kota taman, di kawasan ini banyak dijumpai
taman-taman terbuka. Yang terbesar adalah Taman Suropati, yang terletak di
antara Jalan Imam Bonjol dan Jalan Diponegoro. Kemudian terdapat Taman Lawang
yang terletak di Jalan Sumenep, Situ Lembang di Jalan Lembang, serta Taman Cut
Meutia di Jalan Cut Meutia. Di kawasan ini dulu pernah berdiri Stadion Menteng,
yang kini telah beralih fungsi menjadi Taman Menteng. (sumber :
id.wikipedia.com)
Kelurahan yang terdapat di Menteng
1. Menteng
2. Pengangsaan
3. Cikini
4. Kebon
Sirih
5. Gondangdia
Gambar :
Peta Kecamatan Menteng
Sumber :
Google Earth
Keadaan eksisting bangunan tua di kawasan Menteng masih terjaga
dan dirawat sampai saat ini, tidak ada bangunan yang dirubah wajahnya hanya
dilakukan perbaikan saja seperti bentuk semula dan dilakukan pengecatan pada
bagian bangunan yang usang. Bangunan kawasan Menteng yang masih terlihat jelas
masa lalunya dan terawat diantaranya yaitu Masjid Cut Mutia, Gedung Joeang 45,
Museum Perumusan Naskah Proklamasi, Gereja St. Theresia, dan Gereja GPIB Jemaat
Paulus. Bangunan ini merupakan bangunan bersejarah dimasanya telah dibangun
cukup lama dan masih terlihat seperti mulanya sehingga bangunan ini perlu
dijaga dan dirawat.
Bangunan-bangunan yang berdiri di kawasan Menteng dibangun pada
masa penjajahan dan kolonialisasai Belanda dan merupakan kawasan yang dijadikan
perumahan bagi pegawai kolonial Belanda sehingga bangunan di kawasan ini
dirancang seelegan dan spesail dengan gaya yang terkenal di masanya yaitu gaya
arsitektural klasik Indis atau Hindia Klasik atau disebut juga “Indo-Eropa”
terdapat campuran budaya eropa dan indonesia.
Arsitektur bangunannya dapat
disebut berkarakter fungsionalis tahun duapuluhan dengan variasi tropis
art-deco dengan jejak-jejak neo-klasik peninggalan abad 19. Adaptasi arsitektur
lokal sangat dipengaruhi oleh iklim tropis. Hal ini tercerminkan melalui
kecenderungan penggunaan ventilasi alamiah dan menghindari cahaya matahari
langsung. Karena hal ini maka dapat dipahami adanya rancangan ruang dengan
langit-langit sangat tinggi, volume para-para atap yang besar, lubang-lubang
ventilasi serta pintu dan jendela ganda. Material tradisional dan keterampilan
lokal juga memberi bekas melalui bentuk atap miring, konstruksi kayu dan ubin
semen berwarna. Ditambah dengan material bangunan yang didatangkan dari luar
negeri, ini menjadikannya khas arsitektur Hindia-Belanda, atau arsitektur
kolonial, atau juga indische
architectuur.
Kesimpulan:
Kawasan
Menteng telah ditetapkan sebagai kawasan cagar bangunan berdasarkan Surat
Keputusan Gubernur KDKI Jakarta Nomor D.IV-6098/d/33/1975 Tahun 1975. Sebab,
bangunan-bangunan tersebut merupakan tonggak sejarah perkembangan arsitektur
bangunan di Indonesia yang tidak dapat dijumpai di kawasan lain. Karena itu,
bangunan-bangunan bersejarah di kawasan Menteng harus dipertahankan dan
dijadikan kawasan konservasi cagar budaya.
Sumber:
http://noviaclarabianca.blogspot.com/2014/03/konservasi-arsitektur-kawasan-cagar.html
http://albertus-konservasi-arsitektur.blogspot.com/
Comments
Post a Comment