KONSERVASI ARSITEKTUR DI DAERAH JAWA TENGAH

Kawasan Pecinan Pasar Gede, Solo, Jawa Tengah


Dewasa ini pemerintah Kota Solo sedang menggalakkan revitalisasi beberapa bangunan kuno yang ada, seperti masjid Agung, Stasiun Jebres, gedung Bank Indonesia dan masih banyak lagi yang akan menjadi target pembangunan kota untuk menarik wisatawan berkunjung ke Kota Solo. Apalagi semboyan Solo Future is Solo Past, telah sering kali disampaikan Walikota Solo dalam beberapa forum pertemuan baik dengan para pemegang kuasa maupun dengan penggiat budaya. Baik di tingkat nasional maupun internasional. Kawasan Pecinan di daerah Balong, Pasar Gede Hardjanagara merupakan salah satu dari kawasan cagar budaya yang perlu dilestarikan dan dijaga keberadaannya. Mengingat kawasan ini merupakan urat nadi perkembangan ekonomi Kota Solo dari dulu sampai sekarang.


Orang-orang Tionghoa diperkirakan sudah ada di Surakarta pada tahun 1746, tidak lama setelah kota ini dijadikan sebagai Ibukota Kerajaan Dinasti Mataram (Keraton Surakarta) oleh Paku Buwono II. Pada mulanya, ketika hadir di Surakarta pada 1746 dalam perkembangannya masyarakat etnis Tionghoa harus tunduk kepada peraturan pemerintah kolonial yang diskriminatif. Masyarakat etnis tersebut ruang geraknya dibatasi dengan sistem surat jalan (passenstelsel). Mereka dilarang memiliki tanah, sesuai UU Agraria 1870, bahkan tempat tinggalnya dilokalisasi di sebuah wilayah yang dikenal dengan nama Balong. Pada sekitar tahun 1911, atas desakan organisasi atau gerakan nasionalis di kalangan orang-orang etnis Tionghoa, pemerintah kolonial mengabulkan tuntutan penghapusan wijkenstelsel dan passenstelsel. Sejak itu permukiman masyarakat etnis Tionghoa tidak lagi mengelompok, tapi menyebar ke lokasi yang lain. Namun dalam perkembangannya juga, menariknya Kampung Balong masih tetap bertahan sebagai perkampungan pecinan. Sebab mayoritas masyarakat yang tinggal di sana, adalah masyarakat keturunan Tionghoa.

Banyaknya perdebatan tentang modernitas dan tradisi bukan merupakan hal yang baru. Tingkat konflik di antara keduanya tergantung dari besarnya kesenjangan sosial budaya yang ada. Telah banyak bangunan yang bernilai sejarah dan budaya tinggi digerogoti oleh kepentingan komersial dan digantikan dengan bangunan berarsitektur modern. Untuk mengantisipasi semakin banyaknya sumberdaya budaya yang dihancurkan, diperlukan upaya konservasi untuk melestarikannya. Upaya konservasi tidak hanya terbatas pada penyelamatan bangunan berdasarkan nilai sejarah dan arsitekturnya saja, tetapi juga mencakup nilai sosial, ekonomi, dan politisnya. Dengan melihat semakin maraknya modernisasi bangunan yang berkembang di Kota Solo saat ini, perlu adanya upaya konservasi kawasan Pecinan, tetapi yang terpenting adalah sejauh mana upaya konservasinya.

Menurut wacana pembangunan kota, pelestarian dibedakan menjadi dua yaitu preservasi dan konservasi. Definisi preservasi adalah upaya untuk mengembalikan suatu tempat, bangunan, atau lingkungan kepada kondisi asalnya, demi mencegah kerusakan yang disebabkan oleh tindakan manusia. Sedangkan konservasi adalah upaya untuk memelihara suatu tempat sedemikian rupa sehingga maknanya tetap terjaga. Konservasi bukan berarti membangun kembali kota lama dengan segala artefaknya, akan tetapi lebih bersifat untuk menemukan kembali unsur-unsur yang membentuk keunikan budayanya (Danisworo, 1999).

Bangunan dan kawasan bersejarah sebetulnya dapat menambah citra dan identitas bagi suatu kota. Eksistensinya bangunan bersejarah mampu membentuk nilai-nilai lokalitas dalam wujud arsitektural, yang memberikan citra tersendiri bagi suatu kota (Johana, 2004). Citra serta identitas kawasan sering kali menjadi tolok ukur bagi kualitas suatu lingkungan, khususnya menyangkut cara pandang orang terhadap nilai lingkungan tersebut. Dengan kuatnya citra suatu kawasan, maka identitas pun akan muncul sebagai suatu perbedaan terhadap kawasan-kawasan lain. Identitas tersebut akan menjadi ciri tersendiri bagi suatu kawasan (Muharam, 2002).

Berkaitan dengan wacana tersebut, bangunan-bangunan yang ada di kawasan Pecinan perlu dipreservasi dan dikonservasi. Pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan bidang penelitian dan pelestarian benda cagar budaya, sampai saat ini lebih banyak berkutat pada masalah teknis. Sedangkan pemaknaan terhadap benda cagar budaya tampaknya hanya dilakukan pada tingkat instansi masing-masing. Penggalian makna benda cagar budaya yang ada di lingkungan masyarakat belum maksimal dilakukan. Padahal diketahui bahwa benda cagar budaya yang ada di masyarakat adalah bagian dari perjalanan hidup masyarakat itu sendiri. Permasalahannya adalah bagaimana makna-makna atau nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat tersebut dapat menjadi bagian dari hidup mereka, dengan memasukkan nilai-nilai yang dapat menumbuhkan rasa memiliki serta jiwa nasionalisme sehingga memperkaya ragam nilai budaya bangsa. Diharapkan dengan adanya rasa memiliki tersebut, masyarakat akan melestarikan warisan budaya dengan kesadaran sendiri.
Pada kenyataannya, kondisi saat ini, banyak bangunan di kawasan Pecinan yang tidak terawat dan rusak. Terlebih lagi kawasan Pecinan berada di pusat kota yang rawan akan perubahan, sehingga perlu diupayakan agar kawasan tersebut tetap mempertahankan kekhasannya. Memang perubahan tidak dapat dihindari, tetapi sedapat mungkin fasad serta ragam hias bangunan dipertahankan karena di situlah letak keunikan arsitektur bangunan di kawasan Pecinan yang merupakan hasil perpaduan dari beberapa budaya. Dalam hal ini, pemerintah harus menggandeng masyarakat untuk bahu membahu melakukan upaya pelestarian kawasan Pecinan. Perlu adanya guideline desing bangunan untuk mengendalikan perkembangan pembangunan fisik bangunan yang termasuk dalam kriteria bangunan cagar budaya.

Demikian juga dengan ornamen, material, dan warna asli bangunan perlu diperhatikan. Sedapat mungkin untuk kawasan Pecinan menghindari warna-warna yang mencolok, atau dikembalikan sesuai aslinya sehingga dapat dijadikan sebagai penanda jenis-jenis toko. Misalnya toko barang kelontong berwarna putih sedangkan kios jasa pelayanan gigi berwarna krem. Beberapa rumah toko yang bagian depannya tertutup oleh reklame seharusnya ditampakkan fasadnya agar keindahan arsitektur bangunannya dapat dinikmati. Perkuatan dan penambahan struktur baru diperbolehkan untuk menjaga stabilitas bangunan. Pendaurulangan bangunan dapat dilakukan misalnya dengan perubahan tata ruang untuk fungsi yang berbeda (adaptive re-use).
Selain hal-hal yang berkaitan dengan fisik bangunan, tradisi dan budaya masyarakat Tionghoa di kawasan Pecinan juga harus dikonservasi. Antara lain dengan menyelenggarakan expo yang menampilkan kesenian Barongsai pada saat perayaan tahun baru Imlek, Grebeg Sudiro serta berbagai kuliner maupun obat tradisional China untuk menumbuhkan kembali unsur-unsur yang membentuk keunikan budaya masyarakat Pecinan. Kegiatan tersebut dapat dilakukan rutin setiap tahun dan menjadi agenda pariwisata di kota Solo. Dalam hal ini, sejak beberapa tahun yang lalu, Kota Solo telah menyelenggarakan berbagai kegiatan berkaitan dengan tahun baru Imlek dengan menampilkan budaya China yang dilaksanakan di kawasan Pecinan. Dengan adanya kegiatan tersebut, diharapkan masyarakat akan semakin tergerak untuk melestarikan tinggalan budaya yang ada di kota Solo.
Satu hal yang perlu dipahami adalah, kota bukan ciptaan satu generasi tetapi terus tumbuh dari satu generasi ke generasi yang lain. Karya suatu generasi patut mendapat tempat sebagai bagian dari suatu kota. Persinggungan dengan para pendatang selama berabad-abad telah membawa pengaruh pada kota Solo yang menghasilkan budaya kota campuran yang unik dan penuh warna.

Sumber: http://edisicetak.joglosemar.co/berita/konservasi-pecinan-solo-65711.html

Comments

Popular Posts